Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Islam di Indonesia Masa Modern dan Kontemporer

 

Islam di Indonesia Masa Modern dan

 Kontemporer


A. Islam di Indonesia Sebelum Masa Modern

Islam telah ada sejak zaman kenabian,islam terus berkembang hingga saat ini.Akan tetapi Islam sempat mengalami kemunduran hingga akhirnya dapat berjaya hingga saat ini.Periode setelah 1800 Masehi hingga saat ini disebut sebagai Islam Modern.Pada masa ini terdapat banyak sekali Perkembangan Islam dalam kehidupan diantaranya meliputi pendidikan,perdagangan,dan kebudayaan.(Perkembangan Islam Pada Masa Modern,Akhmad Solihin,Blog Visiuniversal,2014).

Pada awal-awal masa modern,umat islam dari berbagai negara telah menyimpang dari ajaran islam.Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada saat itu,diantaranya ialah:

Ø  Ajaran Islam tentang ketauhidan telah bercampur dengan kemusyrikan.

Ø  Adanya kelompok umat Islam, yang selama hidup di dunia ini, hanya mementingkan urusan dunia dan meninggalkan akhirat.

Ø  Banyak umat Islam yang menganut paham fatalisme, yaitu paham yang mengharuskan berserah diri kepada nasib dan tidak perlu berikhtiar, karena hidup manusia dikuasai dan ditentukan oleh nasib.

Ø  Dari sisi ekonomi, masyarakat Muslim Indonesia banyak yang miskin.

Ø  Dari segi politik, masyarakat Muslim Indonesia terjajah.

Ø  Dari segi penguasaan ilmu dan teknologi, masyarakat Muslim Indonesia terbelakang.(Jurnal Sejarah Pembaharuan Islam Indonesia di Era Modern,Yuni Rahmawati,repository unimus).

Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan tersebut mendorong munculnya  para penggagas  dan pembaharu Muslim yang berusaha menyadarkan  terhadap penyimpangan penyimpangan yang telah di lakukan  agar kembali jalan yang benar.

B). Tokoh Pembaharu Islam Di Indonesia Pada Masa Modern

K.H Ahmad Dahlan merupakan tokoh pembaharu islam di Indonesia pada masa modern,dan beliau mendirikan suatu organisasi kemasyrakatan yang biasa disebut Muhammadiyah.Faktor terbentuknya organisasi ini ialah K.H Ahmad Dahlan melihat adanya keterpurukan kaum Muslim Indonesia. Sehingga kondisi itulah yang mendorong beliau mendirikan Muhammadiyah. Dengan demikian, kehadiran Muhammadiyah dijadikan Ahmad Dahlan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan masyarakat Muslim Indonesia yang berkemajuan dengan berbasiskan ajaran Islam.K.H Ahmad Dahlan membuat gerakan tajdid yang bermaksud menjadikan Islam sebagai bagian penting dari kemajuan Indonesiadi tengah kehidupan sosial yang terus berubah.Bentuk penerapan gerakan tajdid dalam Tafsir sosialnya dilakukan dengan cara penerjemahan teks-teks al-Qur’an seperti contohnya dalam surat Al-Maun.Langkah penerapan gerakan tajdid lain nya adalah merintis pendidikan modern yang memadukan pelajaran agama dan umum. Gagasan pendidikan yang dipelopori KH Ahmad Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek “iman” dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya.

C). Kemajuan Peradaban Islam di Indonesia Pada Masa Modern

Pada Abad ke-20,Muhammadiyah dikenal sebagai simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai gerakan modern. Pemikiran Ahmad dahlan masa itu mampu memperbaharui pola pikir serta pandangan masyarakat pada umumnya, yaitu masyarakat yang dahulunya memiliki pandangan umat Islam yang eksklusif, tertutup, dan kolot, terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak rasional dan terbuka. Pemikiran Ahmad Dahlan yang menjadi dasar penggerak muhammadiyah dalam usahanya memberikan makna pembaharuan ke dalam dua gerakan, yaitu gerakan purifikasi dan modernsisasi(pembaharuan).Gerakan purifikasi(Pemurnian), yaitu kembali kepada semangat dan ajaran Islam yaitu untuk memurnikan agama dari syirik serta membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat.  Karena umat Islam dahulu cara ibadah mereka mulai bercampur dengan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya.Gerakan pembaharuan (modernis) merupakan ajaran Islam yang mengikuti perkembangan zaman dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan.

Muhammadiyah membentuk beberapa bidang untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di kalangan umat islam,diantara yaitu:

-Bidang Sosial:Membentuk lembaga amil zakat muhammadiyah,pantai asuhan

-Bidang Kesehatan:Membentuk balai kesehatan,rumah sakit,poliklinik

-Bidang Lain:Membentuk koperasi warga muhammadiyah,dan baitul tanwil muhammadiyah.(Jurnal Sejarah Pembaharuan Islam Indonesia di Era Modern,Yuni Rahmawati,repository unimus).

D. Islam di Indonesia Pada Masa Kontemporer

A). Fase-Fase Munculnya Islam di Indonesia

Masuknya Islam ke Indonesia melalui beberapa Fase, pertama, sejak akhir abad ke8 M sampai ke 12 M ditandai dengan hubungan perdagangan.Inisiatif dalam hubungan semacam ini secara umum dilakukan oleh kalangan masyarakat Muslim dari TimurTengah, khususnya Arab dan India. Fase kedua, dari abad ke-12 M sampai akhir abad ke -15, hubungan antara bangsa Arab dan India mengambil aspek aspek lebihluas.Muslim Arab dan India yang terdiri dari pedagang atau pengembara sufi,mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara.Pada tahap ini hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Kemudian pada tahap berikutnya, yaitu sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17 yang ditandai dengan hubungan yang mengarah ke ranah politis di samping keagamaan itu sendiri.(Islam dan Dakwah di Indonesia Pada Masa Kontemporer,Inggria Kharisma,UIN Imam Bonjol Padang,Vol.24 No.1 2020).

B). Pemikiran Islam Pada Masa Kontemporer

Pemikiran Islam Kontemporer adalah pemikiran islam yang berkembang pada masa modern(abad 19 M) hingga sekarang.Ciri khas pemikiran nya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan AlQuran dan peradaban Islam.Peta perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pemikiran Islam kontemporer di dunia Islam pada umumnya.Hal ini disebabkan para ilmuwan/intelektual muslim Indonesia banyak belajar di negara-negara Islam modern dan negara-negara Barat.Oleh karena itu pemikiran Islam kontemporer di Indonesia sedikit berkolaborasi dengan pemikiran Islam kontemporer Jazirah Arab dan Barat.Pada hakikatnya perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak lepas dari upaya dalam menafsirkan Islam(dengan AlQuran).Dawam Rahardjo berpendapat bahwasan nya kegiatan intelektual islam dikuasai oleh berbagi macam tema sentral,yaitu:-Pertama:“Interpretasi kembali AlQuran” adalah keinginan untuk melakukan rekontruksi terhadap ajaran-ajaran islam sebagai pembinaan suatu masyarakat modern.Pendekatan yang diambil dengan mencari esensi-esensi ajaran islam dengan menggali nilai-nilai fundamenta,dan dari titik tolak inilah mulainya bermunculan konsep-konsep di bidang baru,seperti masyarakat,ekonomi,pendidikan,lingkungan hidup,dll.-Kedua:“Aktualisasi tradisi” adalah tema ini bermaksud untuk melakukan pembaharuan pemikiran,pembaharuan disini dimaksudkan bukan harus berimplikasi berputus dengan sejarah melainkan justru bertolak dari sejarah. Ketiga: “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” adalah memberikan esensi peradaban Islam modern dengan nilai-nilai Tauhid.Keempat: “Pribumisasi Islam” Tema ini merupakan tema tersendiri yang menjadi observasi cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki obsesi kemajuan dan kejayaan nya Islam di Indonesia. Islam di Indonesia bersifat adaptable yaitu bisa diterima dengan baik oleh banyak orang.Kemungkinan Islam disesuaikan dengan keadaan dan itulah yang menjadi kekuatan Islam,contohnya ialah yang diperjuangkan oleh wali songo.Kuntowijoyo berpendapat bahwasan nya Islam di Indonesia mengalami tiga macam periode,yaitu:

1.Periode Tradisi Mistis-Religius (….-1990): Pada abad 19 ketika perlawanan menghadapi kolonial utopia,umat Islam tidak merumuskan pemikiran nya berdasarkan aktualisasi sejarah melainkan berdasarkan kepada mitos

2.Periode Formula Normatif (!900-1965): mulanya islam dipahami secara mistis kemudian bergeser ke formula normative yang kemudian berkembang menjadi ideologi dan aksi.Pada periode inilah mulai nya bermunculan pemikiran islam kontemporer.

3.Periode Ide (1965-Orde Baru): Pada masa ini memasukkan urgensi islam ke dalam kemasyarakatan ilmu dan ide ke tingkat pengambilan keputusan.(Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia,Drs Lukman Hakim)

E. Islam dan Budaya Lokal

Islam sejak kehadirannya dimuka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai salah satu agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Ini, tentunya membawa Islam sbagai bentuk ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka bumi ini. Islam sebagai agama universal sangat menghargai akan ada budaya yang ada pada suatu masyarakat, sehingga kehadiran islam di tengah-tengah masyarakat tidak bertentangan, melainkan Islam dekat dengan kehidupan masyarakat, disinilah sebenarnya, bagaimana Islam mampu membuktikan dirinya sebagai ajaran yang flexsibel di dalam memahami kondisi kehidupan suatu masyarakat.

 Hal ini pun terjadi di Indonesia, dimana Islam yang ada di Indonesia merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara cultural, sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya local sudah dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu masyarakat.

Banyak kajian sejarah dan kajian kebudayaan yang mengungkap betapa besar peran Islam dalam perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat di pahami, karena Islam merupakan agama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan dalam perkembangan budaya daerah terlihat betapa nilai-nilai budaya Islam telah menyatu dengan nilai-nilai budaya di sebagian daerah di tanah air, baik dalam wujud seni budaya, tradisi, maupun peninggalan pisik. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional, peran Islam dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah dibuktikan dalam sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi berbagai kebudayaan daerah yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim.

Peran tersebut secara ekplisit dikemukakan oleh Presiden pada sambutan Seminar Nasional Budaya Bangsa 10 November 1995, bahwa “Agama bukan saja telah menghindarkan berkembangnya yang sempit, tetapi secara tidak langsung juga ikut meletakan dasar-dasar kebudayaan nasional. Ajaran agama yang di anut oleh bangsa kita telah memberikan motivasi yang kuat bagi tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan, lancarnya proklamasi kemerdekaan, gigihnya perjuangan bersenjata mengusir penjajah dan terarahnya pembangunan nasional. Walaupun pengaruh nilai-nilai Islam telah nyata dalam perkembangan seni budaya nasional, namun pengaruh tersebut lebih ditekankan kepada upaya perkembangan budaya nasional dalam makna yang dinamis.

Dengan demikian, bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama dan kebudayaan lokal, perlu menumbuhkan dua macam system budaya itu adalah:

1) Sistem budaya nasional (supra etnik)

 2) Sistem budaya daerah (etnik)

 Sementara itu, bangsa Indonesia yang terdiri dengan banyak suku bangsa dengan system budaya etnik-lokanya masing-masing. Sistem-sistem budaya yang otonom itu ditandai oleh pewarisan nilai-nilai melalui tradisi. Nilai-nilai tersebut telah berakar kuat dalam masyarakat yang bersangkutan. Seterusnya, dalam masyarakat etnik lokal itu sepanjang waktu terjadi vitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai budayanya yang khas. Dalam rangka perkembangan budaya naaasional, kebudayaan etnik lokal itu sering kali berfungsi sebagai sumber atau sebagai acuan dalam penciptaan-penciptaaan baru (dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya) yang kemudian ditampilkan dalam peri kehidupan lintas budaya. Sistem-sistem budaya etnik lokal inilah yang pada umumnya memberikan rasa berakar kepada rakyat Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, diperlukan strategi untuk mencapai dua tujuan dasar pembinaan kebudayaan, yaitu:

1) Semakin kuatnya nilai-nilai penghayatan nilai-nilai budaya nasional agar mampu menyongsong masa depan bangasa yang ditandai oleh semakin canggihnya prkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin meningkatnya persaingan ekonomi anter bangsa dan semakin kompleksnya arus informasi dan proses penduniannya yang lain.

 2) Semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati dirinya yang ditandai oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kokohnya kehidupan beragama, kesadaran sejarah dan daya cipta yang dimiliki (Djojonegoro, 1996: 109-110).

F. Peta pemikiran politik umat islam

Pemikiran politik modern di dunia Islam tumbuh dan berkembang sejak negara-negara dunia Islam bersentuhan dengan dunia Barat, terutama sejak jatuh ke dalam imperialisme Barat. Munawir Sjadzali (1993:115) mencatat, ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Islam kontemporer, yang mulai muncul pada waktu menjelang akhir abad ke-19 M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, sehingga berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi. Tiga hal tersebut sangat mewarnai orientasi para pemikir politik Islam dalam menghadapi zaman baru. Tetapi, ketiga hal itu pula yang mengakibatkan adanya keanekaragaman aliran pemikiran politik Islam yang dipandang secara era modern.

G. Kategorisasi Politik Islam Modern

Menurut Dien Syamsuddin, pemikiran politik Islam modern dapat diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu: (1) kategori rejeksionis; (2) kategori akomodatif; dan (3) kategori sintesis antara rejeksionis dan akomodatif. Pertama, kategori rejeksionis (berasal dari bahasa Inggris: reject = menolak) maksudnya pemikiran politik yang dilontarkan oleh politisi Muslim lebih menonjolkan penolakan terhadap ide-ide politik Barat secara total dengan mempertahankan dan menghidupkan kembali semangat pemikiran politik tradisional yang telah dirintis oleh pemikir-pemikir politik Islam sebelumnya.

Di antara pemikir politik yang termasuk kategori ini adalah Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, serta Sayyid Ahmad Khan dan Abul Kalam Azad dari India. Kedua, kategori akomodatif, adalah pemikiran politik dari para ahli politik Islam yang bersifat menerima secara akseptabel ide-ide politik Barat yang dianggap sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Termasuk dalam kategori ini diwakilkan dalam pemikiran politik ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Gagasan tentang politik akomodatif terhadap Barat tersebut ditenggarai sebagai politik sekularisasi dan rasionalisasi. Sedangkan ketiga, kategori sintesis, yang merupakan kombinasi dari dua kategori sebelumnya, ditandai dari pemikiran politik yang bersikap mencari dan menggali kembali sumber-sumber politik yang terkandung dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi, serta mencoba merumuskan formula-formula politik yang baru yang sejalan dengan pemahaman Alqur’an dan Sunnah tersebut. Di antara pemikir yang termasuk kategorisasi ini adalah Iqbal, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Qutb dan dari kalangan Ikhwanul Muslimin.

Ø  Afghani, ‘Abduh dan Ridha

Menurut Sjadzali (1993:117), tokoh tiga serangkai tersebut di atas tidak bisa dipisahkan pemikiran politiknya oleh karena persamaan aliran pemikiran keagamaannya, yaitu Salafiyah; dan juga hubungan sesama mereka adalah hubungan antara guru dengan murid. Abduh berguru kepada Afghani, dan Ridha berguru kepada Abduh. Secara umum dapat dikatakan bahwa perjuangan pemikiran politik mereka adalah tegaknya ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan dominasi Barat. Tetapi cara untuk mencapai tujuan tersebut masing-masing mereka terdapat perbedaan yang besar satu sama lain.

Menurut Afghani, cara yang terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat. Sedangkan menurut Abduh, sasaran-sasaran itu akan tercapai dengan baik melalui evolusi dan usaha-usaha bertahap, dan untuk menjamin bahwa pembaharuan politik itu nanti akan menghasilkan perubahan-perubahan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak, diperlukan juga pembaharuan dalam bidang pendidikan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas kesempatan belajar sampai pada rakyat jelata. Abduh percaya betul bahwa hanya melalui reformasi dalam bidang pendidikan umat Islam di satu sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berpikir untuk mengetahui hak dan kewajibannya. Reformasi politik tanpa disertai pembaharuan pendidikan akan berakibat rakyat hanya akan pindah majikan, dari raja atau kepala negara yang despotik kepada wakil-wakil rakyat yang hanya memanipulasi kebodohan dan kelemahan rakyat untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

 Sikap Abduh terhadap kekuasaan sangat bertolak belakang dengan pandangan umum sebelumnya. Menurutnya, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dengan arti:

(1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat dari Tuhan;

(2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, sekalipun penguasa, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; dan

  (3)  Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.

Dengan pendapatnya itu Abduh tidak sejalan dengan pendapat klasik bahwa kekuasaan khalifah merupakan mandat dari Tuhan. Menurutnya, khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia (rakyat) dan bukan hak Tuhan, oleh karena harus bertanggung jawab kepada rakyat. Berbeda dengan gurunya, Ridha adalah pendukung dinasti Utsmaniyah yang setia dan berjuang menghidupkan kembali lembaga kekhalifahan lengkap dengan program kerjanya. Secara garis besar program-program tersebut adalah

(a) tempat kedudukan khalifah baru;

(b) cara mempersiapkan calon-calon khalifah; dan

(c) Muktamar Akbar Islam. Ketiga program tersebut terkesan tradisional dan meniru khazanah politik klasik

Ø  ‘Ali ‘Abd al-Raziq

‘Ali ‘Abd al-Raziq merupakan tokoh paling kontroversial dan paling terkenal, terutama karena bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan). Buku tersebut dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama, menguraikan definisi khilafah beserta ciri-cirinya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan, yang kesimpulannya bahwa dari segi agama dan rasio, pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu. Dalam bagian kedua, diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah (misi kenabian) dengan pemerintahan, dengan kesimpulan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan agama itu bukan negara. Bagian ketiga, diuraikan tentang khilafah dan pemerintahan dalam lembaran sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik. Pemikiran-pemikiran politik Abd al-Raziq tersebut banyak kelirunya, terutama ketika mengajukan argumentasi menyangkut hadits-hadits Nabi yang dipahaminya secara salah kaprah. Namun demikian, gagasannya yang tidak sejalan dengan menghidupkan kembali khilafah patut dijadikan rujukan, karena argumentasinya yang lebih rasional dan modern.

H. Sintesis Baru Politik Islam Modern

 Berbeda dengan dua kategorisasi sebelumnya yang saling bertolak belakang, maka sebagian pemikir politik Muslim lain cenderung lebih apresitif dan inovatif. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada pemikiran-pemikiran politik Iqbal, Sayyid Quthb dan al-Maududi. Iqbal, seorang terkenal sebagai penyair, menentang habis-habisan kediktatoran, sekalipun ia juga cukup kritis terhadap demokrasi Barat. Tetapi, kritiknya tidaklah berarti penolakannya terhadap sistem demokrasi. Ia mengkritik demokrasi Barat karena sistem tersebut banyak banyak menutupi kezaliman di samping sebagai senjata bagi imperialisme dan kapitalisme Eropa. Dalam esainya yang berjudul “Islam as a Moral and Political Ideal”, Iqbal justru membela demokrasi sebagai aspek terpenting Islam, dipandang sebagai suatu cita-cita politik. Tetapi Iqbal mengamati bahwa demokrasi dalam Islam hanyalah bertahan selama 30 tahun, sepanjang pemerintahan khulafa’ al-rasyidun, kemudian menghilang bersama dengan ekspansi politik kaum Muslimin.

Dalam teori politiknya, ada dua prinsip yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

1. Hukum Allah adalah yang paling tinggi. Otoritas, kecuali sebagai penafsir hukum, tidak punya tempat dalam struktuk sosial Islam. Islam tidak menyukai otoritas perorangan.

2. Persamaan mutlak antara seluruh anggota komunitas dengan prinsip persamaan antara seluruh orang beriman.

Berdasarkan gagasan-gagasan tersebut, menurut Iqbal, tidak ada alasan umat Islam untuk menolak demokrasi, asalkan kelemahan-kelemahannya dihilangkan. Baginya prinsip Peta Pemikiran persamaan merupakan salah satu manifestasi tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan sosial politik umat Islam. Agar dapat mengaktualisasikan prinsip-prinsip ideal ini ke dalam kekuatan ruang dan waktu, Iqbal menghimbau umat Islam untuk secara sadar dan kreatif membangun kembali tatanan sosial politik mereka, untuk menciptakan apa yang ia sebut dengan demokrasi spiritual. Kekurangan aspek spiritual inilah yang mengundang kritik keras Iqbal terhadap demokrasi Barat. Tetapi Iqbal tidak merinci lebih lanjut apa yang ia maksud dengan demokrasi spiritual, dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan berpolitik. Agaknya Iqbal mengisyaratkan kepada generasi penerus Muslim untuk memikirkan lebih dalam apa yang ia maksud.

 Pandangan politik Sayyid Quthb dapat diketahui melalui bukunya al-‘Adalah al-Ijtima’iyahn fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam). Ada tiga pokok pikiran yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb, yaitu:

1.     Pemerintahan Supra Nasional

Menurut Quthb, negara atau pemerintahan Islam itu supra nasional yang meliputi wilayah seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, yang dikelola atas prinsip persamaan sesama umat Islam di seluruh penjuru dunia Islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan. Wilayah-wilayah di luar pusat pemerintahan tidak diperlakukan sebagai daerah-daerah jajahan, dan tidak pula dieksploitasi untuk kepentingan pusat saja. Setiap wilayah merupakan bagian dari keseluruhan dunia Islam dan semua warganya memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara yang berada di pusat pemerintahan. Dari sini, dapat diketahui bahwa pemerintahan Islam bercorak manusiawi, terutama dengan konsepnya tentang kesatuan manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia bersatu dalam persaudaraan dan persamaan.

2.     Persamaan Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama

 Negara Islam menjamin hak-hak bagi orang-orang dzimmi dan kaum Musyrikin yang terikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin berdasarkan asas kemanusiaan. Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemeluk agama lain, dan memberikan persamaan yang mutlak dan sempurna kepada masyarakat, dan bertujuan merealisasikan kesatuan kemanusiaan dalam bidang peribadatan dan sistem kemasyarakatan.

3.     Tiga Asas Politik Pemerintah Islam

 Menurut Quthb, politik pemerintahan Islam didasarkan atas tiga asas, yakni (1) keadilan penguasa; (2) ketaatan rakyat; dan (3) musyawarah antara penguasa dan rakyat. Dalam hubungan ini, Quthb mengemukakan bahwa seorang penguasa Islam sama sekali tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang diterimanya dari langit. Dia menjadi penguasa semata-mata karena dipilih oleh kaum Muslimin berdasarkan kebebasan dan hak mereka yang mutlak. Dalam hal bentuk pemerintahan, Quthb menyatakan pemerintahan dapat menganut sistem apa saja, asalkan melaksanakan syariat Islam.

 Sedangkan al-Maududi, pokok-pokok pikirannya tentang kenegaraan dituliskannya dalam beberapa risalah dan satu buku yang berjudul Pemerintah Islam. Konsep-konsep kenegaraan Islam yang dianutnya terdiri atas tiga keyakinan yang melandasi konsep-konsep tersebut. Tiga keyakinan tersebut adalah seperti berikut:

 1) Islam adalah agama yang sempurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Oleh karena itu umat Islam haruslah merujuk kepada pola politik khulafa’ rasyidin sebagai model sistem kenegaraan Islam.

2) Kedaulatan tertinggi adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Dengan demikian maka tidak dibenarkan gagasan kedaulatan rakyat.

 3) Sistem politik Islam adalah sistem politik universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan. Dari ketiga keyakinan tersebut, maka al-Maududi membuat formula-formula politiknya, termasuk di antaranya gagasan tentang teodemokrasi, yang menisbikan kedaulatan rakyat yang terbatas tersebut.


 DAFTAR PUSTAKA

Drs. Khaerul Wahidin dan Drs. Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Islam Umum & Indonesia, Cirebon: Biro penerbit Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon. 1996, Hal. 2

Sudirman, Pembaharuan Hukum Islam : Mempertimbangkan Harun Nasution, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: LSAF, 1989, Hal. 153

Drs. Khaerul Wahidin dan Drs. Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan Islam Umum & Indonesia, Hal. 39

Syamsu Rizal Pangabean, Prospek Islam Liberal di Indonesia dalam Wajah Liberal Islam Di Indonesia, Penyunting: Luthfi Assyaukanie, Jakarta: TUK, 2002, Hal. 9

K. Ali, A Study of Islam

 

Supriadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam (cet. ke-1; Bandung: PustakaSetia, 2008)

Syukur, Fatah. 2009. Sejarah Peradaban Islam.Semarang : Pustaka Rizki Putra

Perkembangan Islam Pada Masa Modern,Akhmad Solihin,Blog Visiuniversal,2014

Jurnal Sejarah Pembaharuan Islam Indonesia di Era Modern,Yuni Rahmawati,repository unimus

Islam dan Dakwah di Indonesia Pada Masa Kontemporer,Inggria Kharisma,UIN Imam Bonjol Padang,Vol.24 No.1 2020


Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda