Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda

 

Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda


A. Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda Datang

            Keadaan kerajaan-kerajaan islam menjelang kedatangan Belanda pada akhir abad ke 16 dan abad 17 bisa dikatakan bahwa seacara garis besar keadaannya berbeda-beda baik pada proses islamisasi yang terjadi di dalamnya maupun kemajuan politik yang dialaminya. Pada saat Belanda datang, di Pulau Sumatera penduduk islam sudah ada sekitar tiga abad, sementara di Pulau Maluku dan Pulau Sulawesi proses islamisasinya baru saja berlangsung.

            Di Pulau Sumatera kondisi kerajaan dan masyarakat islam sudah lama terbentuk. Pada abad ke-6, kerajaan Aceh menjadi sangat dominan, terutama karena para pedagang disana menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada yang ketika itu sedang banyak permintaan. Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatra bagian utara, Aceh berusaha menguasai Jambi, pelabuhan pengekspor lada yang banyak juga dihasilkan di daerah pedalaman, seperti di Batanghari, Jambi yang ketika itu sudah islam, juga merupakan pelabuhan transit, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan lain lain diekspor ke Malaka. Selain itu, ekpansi Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan partai barat Sumatera dan mencangkup Tiku, Pariawan dan Bengkulu. Ketika itu, Aceh memang sedang berada pada masa kejayaaannya di bawah Sultan Iskandar Muda. Beliau wafat dalam usia 46 tahun pada 27 Desember 1636[1].

Setelah Sultan Iskandar Muda wafat kermudian digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani. Sebagai seorang wara’, iskandar tsani mencurahkan perhatiannya kearah pembangunan masyarakat dan mengembangkan pendidikan islam. Sultan ini masih mampu mempertahankan kebesaran Aceh, usahanya untuk menyebarkan ajaran islam tidak saja terbatas di daerah-daerah Aceh besar, tetapi beiau juga surat dan 2 buah kitab yaitu “surat al mustaqim” dan “babu nikah” kepada Sultan Kedah (sekarang Malaysia) ketika mengetahui islam berkembang pesat disana [2]. Setelah ia meninggal dunia Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh 3 wanita selama 59 thn. Ketika itulah Aceh mengalami kemunduran.

Di Jawa, pusat kerajaan islam sudah pindah dari pesisir ke dalam, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Pada tahun 1619 seluruh Jawa Timur sudah berada dibawah kekuasaan Mataram, yang ketika itu dibawah Sultan Agung. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah islam di Jawa. Pengaruh Perkembangan Sejarah Islam di Jawa diantaranya adalah sebagai berikut :

1.     Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas asas agraris.

2.     Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur.

3.     Terjadinya pengeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.

Sebagaimana disebutkan seluruh Jawa Timur sudah berada di dalam kekuasaan Mataram, yang ketika itu berada di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Pada Masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak-kontak bersenjata antar kerajaan Mataram dan VOC mulai terjadi.

Meskipun ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir dan mengakibatkan perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil utama pengekspor beras, posisi Mataram dalam jaringan perdaganagan di Nusantara masih berpengaruh.

Sementara itu di Banten, di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan adanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan munculnya Makasar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Jika diawal abad ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku – Jawa – Selat Malaka, maka diakhir abad itu menjadi Maluku - Makassar - Selat Sunda. Sehubungan dengan perubahan itu Banten dan sebagainya, Sunda Kelapa, bertambah setrategis.

Di sulawesi, pada akhir ke 16 pelabuhan Makasar berkembang dengan pesat. Lantaran Memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tengara dan kepulauan Indonesia bagian barat. Akan tetapi ada faktor- faktor historis lain yang mempercepat perkembangan itu diantaranya ialah :

1.     Pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melay, antara lain ke Makassar.

2.     Arus migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus di Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu.

3.     Blockade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India , Asia Barat dan Asia Timur.

4.     Merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh Pelabuan Makasar.

5.     Usaha Belanda Memonopoli perdaganagan rempah-rempah di Maluku membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antar Malaka dan Maluku.

Sementara itu Maluku Banda, Seram dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdaganagan rempah-rempah yang menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopoli lainnya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol namun ini mendapat ancaman dari Belanda yang datang kesana[3].

B. Latar Belakang kedatangan VOC Hindia Belanda

            Fakta telah menunjukkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan islam di Indonesia telah menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan islam. Fakta yang tidak terbantahkan juga adalah kondisi Indonesia yang kaya raya dengan rempah-rempah dan hasil alam lainnya. Hal tersebut membuat bangsa-bangsa barat berdatangan ke Indonesia , diantaranya Portugis di tahun 1512, kemudian disusul Spanyol tahun 1521, lalu Prancis pada tahun 1529 dan Belanda tahun 1596, lalu Inggris kemudian.[4]

            Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha perdangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Dan perseruan Amsterdam mengirim beberapa armada kapal dagangannya ke Indonesia, dan diikuti banyak perseroan lain yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Kemudian perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten General Republik dengan satu piagam yang memberi hak khusus untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan Kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Serikat dagang ini berdiri pada maret 1602, isi piagam itu memberikan mandat bahwa VOC, disamping berdagang dan berlayar, juga diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha perdagangannya. Boleh jadi, hak politik itu diberikan karena hal yang sama juga berlaku bagi negara-negara eropa lainnya, seperti Portugis yang datang ke kepulauan Indonesia hampir seabad sebelum Belanda.

            Dalam pelayaran angkatan pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam pelayaran ketiga, mereka sudah terlibat perang melawan Portugis di Ambon tetapi gagal, yang memaksa mereka untuk mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual beli rempah-rempah. Dalam pelayaran angkatan keempat, mereka membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi gagal merebut benteng Portugis di Tidore[5].

            Kehadiran VOC di kepulauan nusantara ini tidak diragukan lagi emberikan efek atau akibat yang tidak menyenangkan bagi penduduk pribumi dalam hal perdagangan. Lebih dari itu, kedatangan orang-orang Belanda di Indonesia tersebut juga telah mengancam institusi perpolitikan umat islam saat itu. Bahaya ini belum mengancam ketika petualangan dan ekonomi masih dijalankan secara wajar, banyak penguasa lokal muslim yang menyambutnya dengan ramah. Akan tetapi ketika keinginan memonopoli perdagangan sudah mulai timbul, orang-orang Belanda pun mulai mengintervensi institusi perpolitikan islam di Indonesia yang pada umumnya memang tidak stabil. [6]

             Adapun tujuan Belanda mendirikan serikat dagang yang disebut VOC ini adalah untuk menyaingi pelayaran dan perdagangan bangsa-bangsa Barat lainnya.  Seperti serikat dagang dari bangsa barat lainnya, maka VOC juga ingin memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan mereka. Untuk inilah VOC merasa perlu untuk memonopoli ekspor dan impor perdagangan. [7]karena itu, aktivitas ingin menguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi karena merasa terancam.

 Pada tahun 1798 VOC dibubarkan karena sebelumnya pada 1795 izin operasinya dicabut. Dibubarkannya VOC disebabkan beberapa faktor. Dengan bubarnya VOC pada pergantian abad ke 18 secara resmi Indonesia berpindah ketangan pemerintahan Belanda, karena pemerintahan Belanda memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830 pemerintah Hindia-Belanda menjalankan system tanam paksa. Dan pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi.[8]

C. Penetrasi Politik Belanda

VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah Belanda untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan mempunyai wilayah mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju VOC, melakukan politik ekspansi. Dengan kata lain abad ke 17 dan 18 adalah priode ekspansi dan monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia.

 Menjelang akhir abad ke 18 ekspansi di wilayah ini berhasil di Jawa. Sejak awal Belanda melihat bahwa dalam jaringan perdagangan di Indonesia bagian barat, kedudukan Malaka, Johor, dan Banten adalah sangat penting. Mereka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai. Akhirnya, mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah, sebagai basis kegiatannya. Sultan Agung sejak semula sudah melihat bahwa Belanda adalah ancaman. Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram dua kali melakukan serangan ke Batavia, tetapi gagal,masuknya pengaruh Belanda ke pusat kekuasaan Mataram adalah karena Amangkurat II (1677-1703) meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, Adipati Madura,dan pemberontakan kerajaan.[9]

Hubungan Belanda dengan Banten menjadi runcing ketika Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta tahun 1651. ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda dipandangnya menghalangi usaha Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali kapal Belanda dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua belah pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayassa, Sultan Haji, yang diangkat menjadi Sultan Muda tahun 1676, ternyata tidak menyenangi sikap politik ayahnya yang memusuhi Belanda. Ia ingin mengadakan hubungan baik dengan orang Barat ini. Pada 27 Februari 1682, Sultan Agung Tirtayasa menyerang Surosowan yang ketika itu sudah menjadi pemimpin kerajaan Banten. Serangan ini dapat dipatahkan karna bantuan Belanda, tetapi dengan demikian, Banten berada dibawah kekuasaan Belanda.[10]

Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali justru diundang oleh konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan Indonesia. Yaitu di Sulawesi terdapat konflik dalam negeri antara Gowa-Tallo dengan Bone. Sehingga VOC mampu memonopoli di Makassar maupun di Indonesia bagian timur. [11]

 Sementara itu, sebagai dua kerajaan yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan Bone, terus terlibat konflik, meskipun sewaktu-waktu terhenti. Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Haanuddin, mengambil langkah mengadakan pengawasan ketat terhadap Bone dan mengerahkan tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makasar. Dalam pertempuran antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makassar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang itu, persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk terlibat dalam peperangan melawan Makassar. Dalam peperangan itu Makasar mengalami mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makasar dan VOC baru berakhir setelah diadakan genjatan pada tanggal 6 November 1667.

Penetrasi politik Belanda juga terjadi di kerajaan Banjarmasin. Belanda pertama kali datang ke kerajaan ini pada abad ke 17. untuk memperkokoh kedudukannya Belanda mengangkat seorang gubernur di daerah itu. Ini berarti secara de facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik. Ini pula yang menjadi latar belakang terjadinya perang Banjarmasin yang di pimpin Pangeran Antarsari.[12]

Keberhasilan mengusir Portugis tidak sekaligus berarti kemengan kerjaan. Menjelang 1660, Ternate dan Tidore justru menjadi kerajaan-kerajaan taklukan VOC, organisasi Belanda yang menghendaki monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku dan nusantara umumnya. Selain itu, VOC berkuasa setelah menyisihkan kekuatan Portugis dan Spanyol.[13]

D. Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda

Sewenang-wenang yang dilakukan VOC ternyata kembali dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan kemarahan rakyat hingga akhirnya terjadilah pemberontakan yang dilakukan beberapa daerah berikut.

1.    Perlawanan rakyat Maluku dibawah pimpinan Pattimura (1817)

Secara umum penyebab terjadinya  perlawanan rakyat Maluku ini adalah karena adanya beberapa prahara seperti penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan membuat garam, penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi, banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di kota-kota besar saja, jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang. Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga sebenarnya.

Pada tahun 1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan menyepakati untuk memilih Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) untuk memimpin perlawanan. Keesokan harinya mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua sehingga residen Van den Berg tewas. Selain Pattimura tokoh lainnya adalah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.

Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon dibawah pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan Mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-besaran dan melakukan sergapan pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember 1817 di Ambon. Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut. Christina Martha Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan mogok makan yang menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari tahun 1818.

Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Dibawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian minta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu.

2.    Perang Paderi (1821 – 1838)

Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat antara kaum ulama dengan kaum adat. Kaum  ulama terpengaruh gerakan Wahabi menghendaki pelaksanaan Ajaran Agama Islam berdasarkan Al’Quran dan Hadist. Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk.

Karena terdesak kaum adat minta bantuan kepada Belanda, tetapi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak Belanda mengirim bantuan dari Pulau Jawa yang diperkuat oleh Pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo, tapi kemudian Sentot Ali Basa Prawirodirjo berpihak kepada kaum Paderi sehingga Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dengan siasat Benteng Stelsel pada tahun 1837 Belanda mengepung Bonjol, sehingga Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Cianjur kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat tahun 1864.

3.    Perlawan Pangeran Diponogoro (1825 – 1830)

Penyebab   terjadinya perlawanan Diponogoro ini adalah karena Keraton merasa dihina dan diturunkan martabatnya akibat pemerintah kolonial Belanda terlalu jauh mencampuri urusan dalam keraton. Penderitaan rakyat yang makin menghebat akibat pelakuan pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Kekecewaan kaum ulama terhadap sikap orang-orang Belanda yang merendahkan budaya Timur dan menjujung tinggi budaya Barat, dan pembuatan jalan Yogyakarta-Magelang yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegero di Tegalrejo tanpa izin.

Ada pun  tokoh-tokoh perlawanan ini adalah :

·      Pangeran Diponegoro

·      Suryo Mataram

·      Ario Prangwadono

·      Pangeran Serang

·      Notoprojo

·      Sentot Prawirodirjo

·      Pangeran Ariokusmo

·      Kiai Mojo

Dalam perang ini Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sementara Belanda menggunakan siasat Benteng Stelsel yang bertujuan untuk mempersempit gerak Pasukan Diponegoro. Pasukan Diponegoro semakin lemah terlebih lagi pada tahun 1829 Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namum perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro di tangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Manado kemudian dipindahkan lagi ke Makasar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

4.    Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan

Penyebab terjadinya perlawanan ini bermula dari berakhirnya pemerintahan Inggris menyebabkan Belanda kembali ke Sulawesi Selatan. Belanda menghadapi kondisi yang kurang memuaskan. Oleh karena itu Belanda mengundang raja-raja Sulawesi Selatan  untuk meninjau kembali perjanjian Bongaya yang tidak sesuai lagi dengan sistem pemerintahan imprealisme. Pertemuan tersebut hanya dihadiri Raja Gowa dan Sindereng. Pada tahun 1824, Belanda menyerang Ternate dan berhasil menguasainya. Selain Ternate Belanda juga menyerang Kerajaan Suppa yang dibantu oleh pasukan dari Gowa dan Sindereng yang dimenangkan oleh Belanda. Pasukan Bone yang menghancurkan pos-pos Belanda di Pangkajene, Labakang, dan merebut kembali Ternatte. Oleh karena itu kekuatan Bone makin besar dan daerah kekuasannya makin luas.Di sisi lain, kedudukan Belanda di Makassar makin lemah. Oleh karena itu, Belanda meminta tolong kepada Batavia. Hal ini jelas melemahkan pasukan Bone. 

Tokoh-tokoh dari perlawanan ini adalah Raja Bone, Raja Ternate, Raja Suppa. Pertempuran terus berkobar dan pasukan Bone bertahan mati-matian. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bone makin terdesak. Benteng Bone yang terkuat di Bulukumba dapat dikuasai oleh Belanda. Dengan jatuhnya Bone, perlawanan rakyat makin melemah. Namun, pertempuran-pertempuran kecil masih terus berlangsung hingga awal abad ke-20.

5.    Perlawanan Rakyat Bali

Bangkitnya perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda disebabkan oleh adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik Raja Bali, dan sebab khusus menyangkut tuntutan Belanda terhadap raja-raja Bali yang ditolak berisi hak Tawan Karang dihapuskan, Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagang-pedagang Belanda di Bali, dan Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali.

Tokoh-tokoh perlawanan Bali diantaranya :

·      I Gusti Jalantik

·      Patih Buleleng

·      Raja Bali

·      Raja Karang Ngasem

Jatuhnya kerajaan Buleleng, menyebabkan raja-raja Bali lainnya bersikap lunak terhadap Belanda, bahkan bersedia membantunya. Akhirnya kedua kerajaan tersebut jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik meloloskan diri pada tahun 1849. Setelah kerajaan Buleleng dapat dikuasai, Belanda berusaha menaklukan kerajaan Bali lainnya. Hal ini memaksa para raja Bali mengambil alternatif terakhir untuk mempertahankan kehormatannya, yaitu perang puputan (perang terakhir sampai mati).

6.    Perlawanan Rakyat Aceh (1873-1904)

Perlawanan rakyat Aceh merupakan perlawanan yang paling lama dan juga terakhir bagi Belanda dalam rangka Pax Netherlandica. Perlawanan dipimpin oleh para Bangsawan (Tengku) dan para tokoh ulama (Teuku) seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dan lain-lain.

Salah satu penyebab terjadinya peperangan karena Belanda melanggar Perjanjian Traktat London tahun 1824 yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara seperti Konsentiasi Stelsel dan mendatangkan ahli Agama Islam yaitu Snouch Hurgronye. Cara ini dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh dan dari Snouch Hurgronye Belanda mengetahui kehidupan rakyat Aceh dan cara-cara menaklukan Aceh. Sehingga akhirnya Aceh dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian Raja-Raja didaerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda diikat dengan Plakat Pendek yang isinya :

·      Mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.

·      Tidak akan mengadakan hubungan dengan negara lain.

·      Taat dan patuh pada Pemerintah Belanda

 

7.    Perlawanan Rakyat Banjar

Penyebab dari pecahnya peperangan ini bermula saat Belanda dapat menjalin hubungan dengan Kerajaan Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam. Setelah Sultan Adam wafat tahun 1857, Belanda mulai turut campur dalam urusan pergantian tahta kerajaan. Akibatnya, rakyat tidak menyukai Belanda. Belanda dengan sengaja dan sepihak melantik Pangeran Tamjid Illah sebagai Sultan. Ditengah tengah perebutan tahta, meletuslah perang Banjar pada tahun 1859 dengan Pangeran Antasari sebagai pemimpinnya.

Tokoh-tokoh perlawanan :

·      Sultan Adam

·      Pangeran Antasari

·      Pangeran Hidayatulloh

·      Kiai Demang Lamang

·      H.Nasrun

·      H.Bayasin

·      Kiai Lalang

·      Gusti Matseman

Pangeran Antasari melakukan pertempuran bersama rakyat. Bahkan, pada bulan Maret 1862 Antasari diangkat menjadi Sultan dengan gelar Panembahana Amiruddin Khalifatul Mukminin. Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan oleh putranya bernama Gusti Matseman namun, perlawanan rakyat Banjar makin hari makin melemah.[14]

E. Politik Islam Hindia Belanda

Pada awal 1980-an, terbit buku mengenai politik Islam Hindia Belanda. Buku ini merupakan karya disertasi dosen IAIN Sunan Kalijaga (UIN) Jakarta, H Aqib Suminto, selama menjalani pendidikan doktor di Universitas Leiden, Belanda. Buku ini sampai kini sangat menarik dan salah satu dari master piece karya ilmiah orang Indonesia mengeai sejarah politik Islam di negara ini.

Menurut Aqib, keinginan keras untuk tetap berkuasa di Indonesia mengharuskan pemerintah Hindia Belanda untuk menemukan politik Islam yang tepat, karena sebagian besar penduduk Kawasan ini beragama Islam.

Apalagi kenyataannya, dalam perang menaklukan bangsa Indonesia selama sekian lama, Belanda menemukan perlawanan keras justru dari pihak-pihak raja-raja Islam terutama, sehingga tidak mengherankan bila kemudian Islam dipandangnya sebagai ancaman yang harus dikekang dan ditempatkan di bawah pengawasan yang ketat.

Kedatangan Snouk Hurgronje yang pada akhir bad ke 18 memberikan alternatif jalan ke luar. Analisanya tentang Islam mendorong untuk bersikap netral terhadap ibadah agama, di samping bertindak tegas terhadap setiap kemungkinan perlawanan orang-orang Islam yang fanatik. Politik kembar antara toleransi dan kewaspadaan ini dimaksudkan untuk membangun  fondasi bagi ketentraman kehidupan beragama dan meletakkan modus vivendi antara pemerintah dan umat Islam.

Namun politik Islam Snouk Hurgronje yang didasarkan atas analisa pemisahan antara agama Islam dan politik tersebut, tampaknya hanya sesuai dengan kondisi peralihan masa abad ke 20, sebab perkembangan selanjutnya ternyata menyimpang dari garis politik Snouck Hurgronje.

Maka ketentraman yang dicapai tidak bisa bertahan lama, justru ketika umat Islam di kawasan ini mulai kebangkitannya. Dorongan kebangkitan umat Isam dari luar negeri berpadu dengan perubahan sosial akibat lajunya modernisasi di bawah pemerintahan kolonial. Proses modernisasi berhasil mempersegar penghayatan agamanya, sehingga mampu memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan sebagai pandangan hidup yang lengkap.

Sebagai wawasan dan saran Snuock Hurgronje sesudah dasa warsa pertama abad ke 20 tidak lagi sesuai dengan sitauai kondisi Umat Islam —dalam membela agamanya— ternyata tidak mengabaikan kepentingan politik sebagai pergolakan; sehingga politik kolonial pun mengalami perubahan, lebih tergantung pada aliran hukum adat. Semuanya ini menunjukkan bahwa pada tahun-tahun terakhir itu, tidak semua konsep Snouck Hurgronje bisa diterapkan.

Politik Islam dalam arti sebenarnya telah menghilang dari agenda pemerintah kolonial Belanda. Namun perlu dicatat kala itu pemerintah kolonial Belanda telah mampu mengendalikan kaum Muslimin jajahannya yang berjumlah enam sampai tujuh kali lipat dari dirinya (jumlah penduduk Belanda kala itu).[15]

Sebagaimana prinsip politik Islam Snouck Hurgronje, bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak boleh mentolerir timbulnya gerakan fanatisme Islam yang dinilianya berpotensi menggoyahkan kekuasaannya. Untuk itu dalam hal ini pemerintah Belanda sangat mengawasi setiap gerakan orang Islam yang dipandang sebagai gerakan fanatik Islam seperti Pan Islam dan Tarekat. Kedua gerakan tersebut dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai gerakan berbahaya yang akan mengancam eksistensinya di bumi Nusantara. Sehingga pemerintah Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Belanda dalam mengeluarkan kebijaksanaan, terkadang nampak sebagai suatu bentuk kewaspadaan dan reaksi dari kecurigaan yang berlebihan.

1.     Gerakan Tarekat

Pemerintah Hindia Belanda memang sejak lama sangat khawatir dan penuh curiga jika terdapat orang-oraang Islam yang berkelompok membentuk suatu majelis perkumpulan. Hal demikian ini disebabkan oleh rasa ketakutan pemerintah kolonial terhadap tarekat, karena mereka yakin bahwa gerakan tarekat akan digunakan sebagai basis kekuatan untuk memberontak oleh pemimpin-pemimpin fanatik Islam. Ketakutan pemerintah Belanda ini terlihat jelas pada beberapa peristiwa seperti: peristiwa Cianjur Sukabumi pada tahun 1885, peristiwa Cilegon Banten pada tahun 1888 dan peristiwa Garut pada tahun 1919.

Pada kenyataanya penyebab meletusnya peristiwa-peristiwa tersebut ialah tidak sepenuhnya disebabkan oleh menyimpangnya gerakan tarekat seperti yang dikhawatirkan pemerintah Belanda mampu menimbulkan kekacauan ataupun suatu gerakan pemberontakan. Sebaliknya, dalam pada itu penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yakni dikarenakan propaganda pemerintah Belanda yang sering mengaitkan masalah lain kepada masalah tarekat. Sehingga yang pada dua tahun sebelum tahun 1888 tarekat tidak begitu dicurigai dan diawasi menjadi lebih diperketat pengawasan terhadapnya. Hal ini tidak lain dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk sekali lagi membatasi gerak orang-orang Islam agar tidak muncul bibit-bibit pemberontakan yang mengancam kekuasaan pemerintah penguasa.

2. Gerakan Pan Islam

Sebagaimana kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap gerakan tarekat, terhadap Gerakan Pan Islam pemerintah kolonial juga penuh curiga dan selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang akan mengancam kekuasaannya. Jikalau gerakan tarekat merupakan bahaya dari dalam, maka gerakan Pan Islam merupakan bahaya dari luar. Dalam kaitannya dengan ini, para haji lah yang seringkali dicurigai sebagai faktor pembawa Pan Islam dari luar, sehingga gerak-gerik mereka sering diawasi oleh pemerintah Belanda. Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Pada masa Usmani Muda, Turki memanfaatkan ide Pan Islam ini sebagai kekuatan untuk merangkul seluruh umat Islam untuk bersatu di bawah kerajaan Usmani.

Usaha ini secara cepat mampu menarik perhatian Asia Afrika yang pada saat itu hampir seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Dalam tahun-tahun selanjutnya, Pan Islam diartikan sekedar sebuah usaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, pengertian ini masih saja dianggap mengancam dunia Barat, karena sangat berpontensi membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Rasa khawatir ini juga dirasakan oleh pemerintah Belanda yang berkuasa di Indonesia. Bagaimana tidak, meskipun letak kepulauan Indonesia berada jauh dari Turki, namun kenyataan terjalinya hubungan bain antara keduanya ini tidak dipungkiri berjalan baik. Hal inilah yang membuat pemerintah Belanda merasa khawatir jika ide Pan Islam akan mempengaruhi kestabilan kekuasaannya di Indonesia.

Pemerintah Belanda bersikap demikian ini, sebab mereka tidak lupa pada kenyataan masa lalu yaitu ketika terjadi perlawanan Aceh kepada Portugis di Malaka dengan perang sabilnya yang terjadi pada abad ke-16, ketika itu Aceh memiliki perwakilan di Istanbul, sehingga dalam menghadapi penjajah Aceh memperoleh bantuan Senjata Api dari Turki. Perang ini merupakan perang yang paling akhir, paling pahit dan paling lama. Sebab hingga menjelang abad ke-20 segala usaha dilakukan untuk mengatasi masalah ini, namun masih belum bisa terselesaikan. Melihat kenyataan inilah, Belanda mngambil langkah sigap untuk mengantisipasi pengaruh Pan Islam terhadap daerah-daerah kekuasaannya yang lain, agar tidak muncul lagi kejadian seperti yang terjadi di Aceh. Oleh karenanya, berbagai bentuk pengawasan dilakakuan salah satunya yakni pengawasan terhadap para haji dan orang-orang Indonesia yang bermukim di Makkah.[16]

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Hasan Muarif, 1998 Menemukan Peradaban, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu

Dinazad. “Kerajaan-Kerajaan Islam Pada Zaman Penjajahan Belanda.” Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang, 2015 2014.

Hasymy.A., 1989 Sejarah masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia , Banda Aceh:     Percetakan Offset

http://digilib.uinsby.ac.id/13017/5/Bab%202.pdf

http://sejarahsemesta.blogspot.com/2013/01/perlawanan-terhadap-Belanda.html

Huda, nur, 2007, Sejarah Sosial Intelektual di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Husnul Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda. LP3ES, 1985.

Syukur,Fatah, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra

Yatim,Badri 2008 , Sejarah islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada



[1] Badri yatim, 2008 sejarah peradaban islam dirosah Islamiyah II (Jakarta PT Persada) hlm. 231-232

[2] A. Hasymy, 1989, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Banda Aceh; Percetakan Offset) hlm,244-245

[3] Badri Yatim 2008, hlm 232-234

[4] Fatah Syukur,2010 Sejarah Perdaban Islam (Semarang PT Pustaka Rizki Putra) hlm,124

[5] Badri yatim,2008, hlm. 234-235

[6] Nur Huda, 2007, Sejarah Sosial Intelektual di Indonesia Yogyakarta(Ar-Ruzz Media)hlm. 18

[7] Ibid, hlm.81-82

[8] Badri Yatim,2008, hlm. 235-236

[9] Fatah Syukur,2010, hlm.215

[10] Badri Yatim,2008, hlm.237-238

[11] Fatah Syukur,2010, hlm.216

[12] Badri Yatim,2008, hlm.240-241

[13] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu) hlm. 153-154.

[15] Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (LP3ES, 1985).

Comments