Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Kerajaan Islam Sebelum Penjajahan Belanda

 

Kerajaan Islam Sebelum Penjajahan Belanda


2.1.penjelasan tentang munculnya kerajaan islam

      1. Di Pulau Sumatera 

Ada beberapa kerajaan Islam yang berdiri di Pulau Sumatera, di antaranya yang terkenal adalah Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. 

a.Samudera Pasai Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Sumatera dan juga pertama di Nusantara. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Keberadaannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya. Pendiri kerajaan Samudera Pasai dan sekaligus raja (sultan) pertamanya adalah Malik al-Saleh yang memerintah hingga tahun 1297 M. [1]

Raja-raja setelahnya adalah Sultan Malik al-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik al-Zahir (1326-1345 M), Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M), Zainal.2Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M), Nahrasiyah (1402-?), Abu Zaid Malik alZahir (?-1455 M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M), Zainal Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik alZahir (1501-1513 M), dan sultan yang terakhir adalah Zainal Abidin (1513-1524 M). Perekonomian negara ini mengandalkan perdagangan dan pelayaran. Ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi, kerajaan Samudera Pasai merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Nusantara, India, Cina, dan Arab. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1524 M. Pada tahun 1521 kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah kerajaan Aceh Darussalam. [2]

b.Aceh Darussalam Kerajaan Aceh Darussalam berada di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Aceh Besar. Ada yang berpendapat bahwa kerajaan Aceh ini berdiri pada abad ke-15 M. Kerajaan ini didirikan di atas puing-puing kerajaan Lamuri oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Pada masa Muzaffar Syah kerajaan Aceh mengalami kemajuan dalam hal perdagangan, karena para pedagang Muslim yang sebelumnya  3berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Kerajaan Aceh menerima Islam dari Pasai. [3]

Kerajaan Aceh ini merupakan gabungan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal. Rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah. Adapun peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alaudin Riayat Syah yang begelar al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin persahabatan dengan kerajaan Usmani di Turki dan kerajaan-kerajaan Islam lain di Nusantara. Dengan bantuan Turki kerajaan Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik. Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera. Tanah Gayo dan Minangkabau berhasil diislamkan. Orang-orang kafir Batak berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam dengan minta bantuan Portugis.[4] Dalam rangka menghadap Portugis, Sultan Iskandar Muda meminta bantuan Belanda dan Inggris. Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Tsani. Pada masa Iskandar Tsani pengetahuan agama maju pesat. Sepeninggalnya tampil beberapa sultan wanita. Pada masa ini beberapa wilayah taklukan melepaskan diri dan kerajaan mulai terpecah belah yang semakin lama semakin melemah.

2. Di Pulau Jawa 

Ada beberapa kerajaan Islam yang berdiri di Pulau Jawa pada masa berkembangnya kerajaankerajaan Islam di daerah lain di Nusantara dan melemahnya kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa. Di antara kerajaan Islam yang berdiri di Jawa adalah Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten. Selanjutnya masing-masing kerajaan ini akan diuraikan secara singkat di bawah ini.

  a. Demak 

Demak merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Jawa. Raja pertamanya adalah Raden Patah yang bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ia adalah seorang anak dari raja Majapahit dari seorang ibu Muslimah keturunan Campa. Dalam mengatur permasalahan agama Raden Patah dibantu oleh Wali Songo. Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16 M. Selanjutnya ia digantikan puteranya Pangeran Sabrang Lor yang dikenal juga dengan Pati Unus. Raja selanjutnya adalah Trenggono yang dilantik menjadi sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Pada tahun 1546 dalam penyerbuan ke Blambangan Sultan Trenggono terbunuh. Ia digantikan artinya Prawoto. Prawoto kemudian juga dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang tahun 1549. Dengan demikian kerajaan Demak berakhir dan diteruskan oleh kerajaan Pajang dengan Jaka Tingkir sebagai raja pertamanya.

 b. Pajang 

Kerajaan atau kesultanan Pajang adalah penerus dan sekaligus pewaris dari kerajaan Demak. Kesultanan Pajang yang terletak di daerah Kartosura sekarang ini aalah kerajaan Islam pertama yang terleak di pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram. Raja atau sultan pertama Pajang adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa Pajang oleh raja Demak, Sultan Trenggono, setelah dijadikan menantunya. Pada tahun 1546 Sultan Trenggono meninggal dan muncul kekacauan di kota Demak. Dengan ini Jaka Tingkir kemudian mengambil alih kekuasaan setelah anak sulung Sultan Trenggono, Prawoto, dibunung oleh Aria Penangsang dari Jipang (sekarang Bojonegoro). Setelah memindahkan semua benda pusaka ke Pajang, Jaka Tingkir menjadi raja yang cukup berpengaruh di Jawa dan bergelar Sultan Adiwijaya. [5] Pada masanya terjadi perpindahan pusat kekuasaan kerajaan Islam dari pesisir ke pedalaman. Adiwijaya meluaskan daerah kekuasaannya ke timur sampai ke Madiun, di aliran Bengawan Solo, Blora, dan Kediri. Adiwijaya kemudian wafat tahun 1587 dan dimakamkan di Butuh (sebelah barat taman kerajaan Pajang) dan digantikan menantunya, Aria Pangiri (anak Prawoto). Putera Adiwijaya, Pangeran Benawa, menjadi penguasa di Jipang. Pada tahun 1588  Pangeran Benawa berhasil mengusir raja Pajang atas bantuan penguasa Mataram, Senopati. Pangeran Benawa kemudian diangkat menjadi raja Pajang dan berada di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Kerajaan berakhir tahun 1618. Waktu itu Pajang memberontak terhadap Mataram dan berhasil ditumpas oleh Mataram yang rajanya waktu itu adalah Sultan Agung. Pajang hancur dan rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.[6]

  c. Mataram 

Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiahnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian. Ki Pamanahan menempati istana Mataram tahun 1577 M dan digantikan oleh puteranya, Senapati, tahun 1584 M yang dikukuhkan oleh sultan Pajang. Senapatilah yang dianggap sebagai sultan Mataram pertama, setelah Pangeran Benawa (putera Sultan Adiwijaya) menwarkan kekuasaan atas pajang kepadanya. Atas perjuangannya yang berat, Senapati berhasil menguasai sebagian dari kerajaan-kerajaan bekas kekuasaan Pajang. Senapati kemudian meninggal tahun 1601 M dan digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak yang memerintah hingga tahun 1613 M. Sultan Agung kemudian menggantikan ayahnya, Seda Ing Krapyak, dan berhasil menguasai seluruh Jawa Timur. Pada masa Sultan Agung mulai terjadi kontak bersenjata dengan VOC. Tahun 1646 Sultan Agung wafat dan digantikan putera mahkotanya, Amangkurat I. Sultan Amangkurat I bermusuhan dengan para ulama, bahkan tahun 1647 ia membunuh sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya. Karena itu sering terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para ulama terhadap kerajaan Mataram yang mengakibatkan runtuhnya Kraton Mataram.

 d. Cirebon 

Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung jati. Wilayah kerajaan ini semula adalah daerah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Islam sudah ada di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 M. Yang berhasil meningkatkan status Cirebon sebagai kerajaan Islam adalah Syarif Hidayat yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang (masih kerabat penguasa Pajajaran). Sunan Gunung Jati adalah sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Beliau wafat tahun 1568 M dalam usia 120 tahun dan digantikan puteranya Hasanudin. Sultan Hasanudin inilah yang kemudian menurunkan rajaraja Banten. Sepeninggal Pangeran Girilaya Cirebon diperintah oleh dua puteranya, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya sebagai Panembahan Anom. Kesultanan juga dibagi dua, yaitu kesultanan Kasepuhan yang rajanya bergelar Samsudin dan kesultanan Kanoman yang rajanya bergelar Badrudin.[7]

e. Banten 

Banten didirikan oleh Hasanudin, putera Sunan Gunung Jati. Hasanudin kemudian menjadi raja Banten pertama. Banten semula merupakan vassal dari Demak. Hasanudin meninggal tahun 1570 dan digantikan oleh puteranya, Yusuf. Setelah sembilan tahun memerintah, Yusuf berhasil menaklukkan Pakuwan yang belum Islam. Yusuf meninggal tahun 1580 dan digantikan puteranya, Muhammad, yang masih muda belia. Selama Muhammad masih belum dewasa, pemerintahan dipegang oleh kali (jaksa agung) bersama empat pembesar kerajaan lainnya. Sultan Muhammad melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur pada tahun 1596 M dalam usia 25 tahun dan meninggalkan putera yang berusia 5 bulan, Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang wali laki-laki dan seorang wali perempuan. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun 1626 M dan tahun 1638 M mendapat gelar Sultan dari Makkah. Dialah raja Banten pertama yang mendapat gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 M dan digantikan cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan inilah terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.[8]

3.Di Pulau Sulawesi 

Kerajaan Gowa-Tallo merupakan dua kerajaan kembar di Sulawesi yang biasa disebut kerajaan Makassar. Sejak kerajaan ini menjadi pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itu Sultan Babullah mengajar penguasa Gowa-Tallo untuk menganut Islam, tetapi gagal. Baru pada saat Dato’ Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini. Alauddin (1591-1636 M) adalah sultan pertama yang menganut Islam pada tahun 1605. Setelah itu kerajaan Gowa-Tallo menyampaika Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Raja Luwu segera menerima Islam dan tiga kerajaan lainnya baru menerima Islam setelah melalui peperangan. Wajo menerima Islam tahun 1610 M dan Bone tahun 1611 M. Raja Bone pertama yang masuk Islam adalah Sultan Adam.

4.Di Pulau Kalimantan

Ada dua kerajaan Islam besar yang berdiri di pulau Kalimantan, yaitu kerajaan Banjar dan kerajaan Kutai. Dua kerajaan Islam inilah yang akan diuraikan secara singkat di bawah. a. Kerajaan Banjar kalimantan selatan Kerajaan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu.Peristiwanya bermula ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha dengan pamannya, Pangeran Tumenggung. Ketika raja Daha, Sukarama, hampir wafat, ia berwasiat agar yang menggantikannya adalah cucunya, Pangeran Samudera. Hal ini tidak disetujui oleh keempat puteranya, terutama Pangeran Tumenggung. Setelah Sukarama meninggal jabatan raja dipegang oleh putera tertuanya, Pangeran Mangkubumi. Ia kemudian terbunuh oleh pegawai istana atas hasutan Pangeran Tumenggung. Akhirnya Pangeran Tumenggung menjadi raja Daha. Pangeran Samudera mengembara ke wilayah muara dan diasuh oleh Patih Masih. Pangeran Samudera berhasil menyusun kekuatan. Dengan meminta bantuan dari kerajaan Demak, Pangeran Samudera kemudian berhasil menguasai Banjar dan sesuai dengan perjanjian yang dibuat dengan Demak, ia dan seluruh kerabat kraton serta penduduk Banjar memeluk Islam. Ia kemudian masuk Islam dan menjadi raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar dengan gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah. Daerah-daerah yang kemudian mengakui kekuasaan kerajaan Islam Banjar adalah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan. Sultan Suryanullah kemudian diganti oleh putera tertuanya, Sultan Rahamtullah. Raja-raja selanjutnya adalah Sultan Hidayatullah (putera Sultan Rahmatullah) dan Marhum Panambahan yang dikenal dengan Sultan Musta’inullah. Pada masanya Banjar mulai mengalami kekacauan. 

b. Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur 

Penyebar Islam di Kutai adalah Tuan di Bandang (Dato’ Ri Bandang) dan Tuan Tunggang

Parangan dari Makassar. Setelah pengislaman Kutai Dato’ Ri Bandang kembali ke Makassar dan Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui Tuang Tunggang Parangan, Raja Mahkota sebagai penguasa Banjar tunduk kepada Islam. Ia kemudian mendirikan masjid dan pengajaran Islam dimulai. Proses Islamisasi di Kutai dilakukan dengan cara peperangan hingga masuk ke daerah-daerah pedalaman. Aji di Langgar, puteranya, dan penggantipenggantinya melanjutkan ke daerah Muara Kaman.[9]

5. Di Kepulauan Maluku

 Islam mencapai kepulauan rempah-rempah ini pada pertengahan abad ke-15 M. Sekitar tahun 1460 raja Ternate, Vongi Tidore, memeluk Islam. Ia mengambil isteri keturunan ningrat dari Jawa. Gelombang perdagangan Muslim terus meningkat pada masa Zainal Abidin (1486-1500 M). Karena Islam masih muda di Ternate, Portugis datang ke sana dan berniat menggantikan Islam dengan Kristen, namun gagal. Islam juga menyebar ke daerah Ambon, yakni ke Hitu. Tersebarnya Islam ke Hitu karena kedatangan seorang qadi, Ibrahim, yang kemudian menjadi qadi Ambon dan memberikan pengajaran Islam di sini. Kemudian didirikan sebuah masjid di Ambon dengan bentuk yang sama seperti di Giri. Komunikasi antara Hitu dan Giri memang masih bertahan hingga abad ke-17 M. Bahkan Demak dan Jepara merupakan sekutu-sekutu Hitu dalam peperangan melawan Portugis yang menempatkan diri di Leitimor, semenanjung Ambon yang penduduknya masih menyembah berhala. Di daerah inilah Portugis berhasil memperkenalkan Kristen kepada mereka.

2.2. munculnya sistem birokrasi kerajaan Islam.

    Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintahan di era masyarakat yang semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak. Seperti rumusan tipe idealnya birokrasi Max Weber yang mendefinisikan birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran tersebut.[10]

Kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, pada umumnya terbagi dalam dua kategori, yaitu kerajaan maritim dan kerajaan pedalaman atau agraris. Dalam kerajaan maritim, birokrasi ditujukan untuk melayani sebuah ekonomi perdagangan, sedangkan kerajaan agraris memfokuskan pada ekonomi pertanian. Kerajaan-kerajaan tradisional yang paling berpengaruh di Jawa, termasuk pengaruh Hindu-Budha dan Islam, pada umumnya bersifat agraris. Dalam membangun sistem politik yang dapat menjamin stabilitas sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, perlu dilakukan usaha menyehatkan birokrasi pemerintahan dengan sistem birokrasi modern yang efektif dan efisien. Namun perlu diketahui munculnya birokrasi modern merupakan sebuah perjalalanan panjang dari suatu negara, yang mana sebelumnya menggunakan sistem birokrasi tradisional.[11]

Karl Marx berpendapat, negara hanyalah alat dari kelas yang berkuasa yakni kelas bangsawan di negara feodal dan kelas kapitalis di negara kapitalis. Berbicara masalah birokrasi tradisional, sangat relevan dengan pendapat Marx di atas. Sulit dipungkiri bahwa dalam birokrasi tradisional pada umumnya, termasuk di Indonesia, kerajaan atau pemerintahan hanyalah alat dari golongan bangsawan untuk tujuan yang bersifat subjektif bagi golongannnya. Meskipun mereka juga memperjuangkan kepentingan masyarakat atau rakyat namun hal ini bersifat sekunder.

Birokrasi kerajaan memiliki ciri-ciri berikut: (1) penguasa menganggap dan menggunakan administrasi public sebagai urusan pribadi, (2) administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya, (3) tugas pelayanan ditunjukan kepada pribadi sang raja, (4) gaji dari raja kepada pegawai kerajaan hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja dan (5) para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.[12]

Pada era kerajaan, tidak terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang diterapkan baik di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda berkuasa, merupakan bagian dari wilayah kekukasaan kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan kerajaan Mataram meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai ke Bali dan Lombok. Dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yakni birokrasi pemerintahan pusat (kraton) dan birokrasi pemerintahan daerah di luar keraton (mancanegara). Birokrasi pemerintahan pusat dipimpin langsung oleh raja yang berkuasa berdasarkan pada garis kekuasaan kharismatiktradidional. Sementara itu, wilayah kekuasaan birokrasi pemerintahan daerah meliputi daerah-daerah di luar kraton dan daerah-daerah pesisir. Menurut Suwarno (1994), pada masa kerajaan Mataram hubungan antara pemerintaha pusat dan daerah bersifat dekonsentrasi atau bahkan sentralistis.

Raja berusaha menguasai birokrat (pejabat-pejabat daerah) dengan sangat ketat mealalui pengangkatan para keluarga kerajaan, termasuk menempatkan pejabat pengawas yang dikoordinasi oleh Wedana Bupati untuk menjamin loyalitas para pejabat di daerah kepada pemerintahan pusat. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja (lihat Suwarno, 1994). Di dalam pemerintahan pusat (kraton), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat mentari (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat Menteri Koordinator (pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton, seperti daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Para bupati tersebut biasanya merupakan bupati lama yang telah ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Pengawasan terhadap kinerja bupatri dolakukan oleh hpejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk oleh raja. Tindakan pengawasan tersebut disebabkan posisi bupati memiliki bawahan, yang pola hubungannya dikembangkan sama seperti hubungan antara raja dan para bawahannya abdidalem.[13]

2.3 Memahami kondisi sosial masyarakat sebagai peradaban colonial

    Kehadiran orang Belanda di Nusantara pada mulanya hanya untuk tujuan dagang dan bukan politik. Mereka berhimpun di bawah bendera VOC (Vereenige Oost-Indishe-Compgnie atau “Kompeni Dagang Belanda di Hindia Timur), sebuah perusahaan dagang swasta yang bergerak di bidang perdagangan rempah-rempah (Boxer, 1983). Lebih khusus lagi, “core businnes” VOC adalah produk pertanian seperti lada, rempah-rempah (pala dan cengkeh), tesktil (katun), kemudian juga teh dan kopi, yang diperoleh dengan menciptaan hubungan dagang monopoli (eksploitatif) (Knaap, 2014). Bagaimanapun, selama dua abad kehadirannya di Nusantara, VOC memiliki kekuasaan yang relatif terbatas di kawasan pantai, kecuali di tiga tempat, di mana pengaruh VOC menusuk lebih dalam seperti di Maluku, Sunda-Banten, dan Jawa Tengah, khususnya di kawasan Mataram Islam, yang dalam kepustakaan Belanda disebut Vorstenlanden (Wilayah Kesultanan). Inilah salah satu kawasan Pulau Jawa yang disebut E.R. Scidmore sebagai the garden of the East (1922). Pada ketiga tempat itu VOC masuk lebih jauh ke pedalaman dan bahkan mengontrol secara langsung sektor produksi dengan “proyek ekonomi” monopoli yang khusus. Di Malaku VOC menerapkan monopoli pelayaran hongi (hongi tochten), yaitu pengawasan atas sektor produksi dan distribusi rempah-rempah (pala dan cengkeh), produk khas Maluku; (ii) di Jawa Barat (Priangan), ada ‘Prianger- stelsel’, yaitu kebijakan sistem tanam paksa kopi. Warisan VOC ini kemudian menjadi model dalam penerapan sistem tanam paksa yang lebih luas di Jawa sebagaimana diusung oleh van den Bosch pada abad ke-19; (iii) di daerah Vostenlanden, Belanda menerapkan dua jenis kebijakan: penyerahan wajib (verplichte leverentie), yaitu menetapkan harga pasaran dan pungutan terhadap setiap hasil. Bumi yang dibawa ke pasar dan sistem contingenten, yaitu kewajiban penduduk untuk membayar pajak hasil bumi (Breman, 2010). [14]

Selebihnya, di luar ketiga daerah yang disebutkan di atas, pengaruh VOC boleh dikatakan relatif terbatas. Bahkan sebaliknya sering terjadi persaingan dagang yang keras, bahkan peperangan. Hampir tanpa kecuali, perlawanan umumnya datang dari kelompok Islam Nusantara. Selain menggunakan instrumen monopoli, VOC juga menyodorkan perjanjian-perjanjian “kerja sama” dengan penguasa setempat, sehingga selama kurun VOC banyak lahir [15]“negara-negara per kontrak” (states per contract) dengan raja-raja boneka yang tunduk di bawah kendali VOC (Resink, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Arief Budiman. Bentuk Negara Dan Pemerataan Hasil-Hasil Pembangunan. Jakarta: Prisma LP3ES, 1982.

Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada, 2013.

Dudung, Abdurrahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

“Jurnal Hukum,” 2, XXVIII (Desember 2012).

Mansur. Peradaban Islam Dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: Global Puataka Utama, 2004.

Mas’oed Mohtar. Politik, Birokrasi Dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Muhammad. Birokrasi Kajian Konsep, Teori Menuju Good Governance. Sulawesi: Unimal Press, 2018.

Segara, I Nyoman Y. “Kampung Sindu: Jejak Islam Dan Situs Kerukunan Di Keramas, Gianyar, Bali. . , Vol. 16, No.2, 2018: 315 – 346. 2016.” Universitas Hindu Darma Negri Denpasar, Jurnal Lektur Keagamaan, 16 (2018).

Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

Suwitha, I Putu Gede. “Teluk Benoa Dan Laut Serangan Sebagai ‘Laut Peradaban’ Di Bali.” Universitas Udayana, Denpasar, Jurnal Kajian Bali, 7 (Oktober 2017).

Zed, Mustika. Warisan Penjajahan Di Indonesia Pasca Kolonial (Perspektif Perubahan Dan Kesinambungan). Padang: Universitas Negeri Padang, n.d.

 

 

 

 

 

 

 



[1] Mansur, Peradaban Islam Dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta: Global Puataka Utama, 2004).

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2013), h. 191.

[3] Badri Yatim, h. 196.

[4] Suwitha, I Putu Gede, “Teluk Benoa Dan Laut Serangan Sebagai ‘Laut Peradaban’ Di Bali,” Universitas Udayana, Denpasar, Jurnal Kajian Bali, 7 (Oktober 2017).

[5] Mansur, Peradaban Islam Dalam Lintas Sejarah.

[6] Segara, I Nyoman Y, “Kampung Sindu: Jejak Islam Dan Situs Kerukunan Di Keramas, Gianyar, Bali. . , Vol. 16, No.2, 2018: 315 – 346. 2016.,” Universitas Hindu Darma Negri Denpasar, Jurnal Lektur Keagamaan, 16 (2018).

[7] Dudung, Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 64.

[8] Sjamsuddin, Helius, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 121.

[9] Sjamsuddin, Helius, h. 61-62.

[10] Muhammad, Birokrasi Kajian Konsep, Teori Menuju Good Governance (Sulawesi: Unimal Press, 2018).

[11] Arief Budiman, Bentuk Negara Dan Pemerataan Hasil-Hasil Pembangunan (Jakarta: Prisma LP3ES, 1982).

[12] Mas’oed Mohtar, Politik, Birokrasi Dan Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 45.

[13] “Jurnal Hukum,” 2, XXVIII (Desember 2012).

[14] Zed, Mustika, Warisan Penjajahan Di Indonesia Pasca Kolonial (Perspektif Perubahan Dan Kesinambungan) (Padang: Universitas Negeri Padang, n.d.).

 

Comments

Popular posts from this blog

UAS ILMU MANTIQ : JURNAL 2

Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda