Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Wali Songo dan Islam di Indonesia

 

Wali Songo dan Islam di Indonesia


A.    Peran Walisongo Dalam Dakwah Islam di Indonesia.

Walisongo secara sederhana artinya Sembilan orang yang telah mencapai tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal sembilan lubang dalam diri manusia (babahan hawa sanga) sehingga memiliki peringkat wali.[1] Para Wali tidak hidup bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah, maka ada dalam ikatan hubungan guru dan murid.[2] Menurut pemahaman yang berkembang dalam masyarakat Jawa, istilah Walisongo dikaitkan dengan sekelompok penyiar agama di Jawa yang hidup dalam kesucian sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu kesaktian yang luar biasa, dan keramat.[3]

Walisongo atau sembilan Wali memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya dipulau Jawa. Sembilan orang wali yang dimaksud adalah Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Sembilan wali ini memiliki keterkaitan erat, baik berdasarkan ikatan darah ataupun hubungan guru dan murid. Mereka tinggal di pantai utara pulau Jawa sejak awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 di beberapa wilayah, yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati masyarakat dan hingga sekarang ini kuburan mereka masih merupakan tempat penting bagi peziarah muslim seluruh Indonesia. [4]

Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut “gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak masal bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam di Indonesia antara lain:

1. Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.

2. Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.

3. Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.

4. Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada- Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.

5. Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.

6. Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.

7. Sebagai kiyai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.

8. Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya. Berkat kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.

B. Model Penyebaran Islam Walisongo.

Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan, yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan tutur bahasa yang baik. Ajaran Islam dikemas oleh para ulama sebagai ajaran yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau Islam dibumikan sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk.

Disamping itu, metode dakwah yang dilakukan para wali tidak terlepas dari amanat yang diberikan oleh Sultan Turki Muhamammad I tatkala pertama kali membentuk tim yang dikirim ke Jawa pada tahun 1404 M, yaitu menitik[1]beratkan keahlian para anggota tim dibidang mengatur Negara dan masyarakat, bukan dibidang agama, dalam arti sempit kebijakan tersebut diambil untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat luas dipulau jawa pada waktu itu. Selain itu, metode yang digunakan yaitu membangun ekonomi dan keamanan masyarakat, serta mendekati para pemuka kerajaan, para wali selalu membuat pesantren untuk mendidik para murid yang baru masuk Islam. [5]

Hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam ditanah jawa tidak bisa lepas dari metode yang dipakai kala itu, yaitu:

1. Dai, Walisongo berdakwah dengan cara yang damai.

2. Materi, yakni akidah syari’ah, dan muamalah.

3. Metode, yakni ceramah, tanya jawab, keteladanan, pendidikan, bitsah, ekspansi, kesenian, kelembagaan, silaturahmi, karya tulis, drama, propaganda, dan diskusi.

4. Media dakwah, yakni masjid, wayang, pesantre, kitab, dan gamelan.

Aktivitas yang mula-mula dilakukan Syekh Maulana Malik Ibrahim (sunan gresik) ialah berdagang di tempat terbuka dekat pelabuhan yang disebut Desa Rumo, yang menurut cerita setempat berkaitan dengan kata Rum (Persia), yaitu tempat kediaman orang Rum. Beliau menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di wilayah Majapahit yang sedang mengalami kemerosotan akibat perang saudara.[6] Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.

Kemudian Sunan Ampel (raden rahmat) tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosio-kultural-religius pada masyarakat yang sebelumnya mengikuti adat dan tradisi keagamaan Majapahit yang terpengaruh Hindu-Buddha dan Kapitayan.

Sunan Bonang (raden makdum Ibrahim) dalam dakwah diketahui menjalankan pendekatan yang lebih mengarah kepada hal-hal bersifat seni dan budaya. Selain dikenal sering berdakwah dengan menjadi dalang yang memainkan wayang, Sunan Bonang juga piawai menggubah tembang tembang macapat. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukanNya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat).7 Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam melalui pendidikan masyarakat dengan memanfaatkan seni pertunjukan yang sangat menarik minat masyarakat. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti muran, cublak suweng dan lain-lain.[7]

Kemudian Sunan Drajat (raden qasim) mendapat ilham agar pindah ke daerah sebalah selatan kira-kira sejauh satu kilometer dari desa Jelag itu. Di sana beliau mendirikan Mushalla atau Surau yang sekaligus dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun tinggal di daerah itu, beliau mendpaat ilham lagi agar pindah tempat ke satu bukit. Dan di tempat baru itu beliau berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang, setelah itu lalu diberi ceramah agama.

Sunan Kalijaga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwahnya. Beliau juga merupakan tokoh pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Beliau adalah tokoh di balik terciptanya wayang purwa dan wayang kulit Islami, beliau juga berjasa karena telah membuat corak batik bermotif burung kakula, yang jika ditulis dalam Bahasa Arab terdiri dari dua bagian yaitu du dan qila yang berarti peliharalah ucapanmu baik-baik. Selain itu, Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Sunan Kudus berdakwah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus dengan bentuk menara, gerbang dan pancuran atau padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti sapi betina. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa Khalifah Abbasiyah. Dengan cara berdakwah seperi itulah, Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Sedangkan Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Beliau juga bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Terakhir Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, beliau menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun beliau juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

C.    Kemajuan Peradaban Islam Pada Masa Walisongo.

Walisongo mempromosikan nilai-nilai Islam dengan instrumen budaya lokal. Di sini perlu diungkapkan tiga contoh strategi budaya yang dikembangkan oleh Walisongo, yakni aristektur masjid sebagai representasi tatanan sosial egaliter, wayang sebagai sarana membangun teologi umat, dan kreasi seni Islam bernuansa budaya lokal. Walisongo sebagai pemimpin umat Islam sekaligus pengembang Islam dan pengelola masyarakat muslim awal di Indonesia telah menggunakan strategi akulturasi budaya. Walisongo telah membuktikan dalam sejarah bahwa strategi akulturasi budaya telah mampu membangun masyarakat Islam di tengah-tengah masyarakat plural, tanpa kehilangan indentitas keislamannya.

Karena kehebatan para wali Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Contoh kongkretnya adalah penggunaan media bedug untuk mengiringi Adzan sebelum dikumandangkan, gamelan dan peralatan seni musik karawitan dan tembang macapat. Beberapa bentuk peradaban Islam di Indonesia diantaranya yaitu:

1. Pesantren: Peradaban Pendidikan Islam Indonesia. Pesantren sebagai sistem pendidikan tertua di Indonesia merupakan bukti Islam membuat peradaban dalam bidang pendidikan yang berbeda sama sekali dengan sistem pendidikan dimanapun. Hingga kini pesantren semakin banyak dijumpai sebagai lembaga pendidikan yang bercorak Islam.

2. Gerakan Masyarakat Islam dan Politik.

Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.

3. Budaya dan Adat Istiadat.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, contohnya kata wajib, fardu, lahir, bathin, musyawarah, surat, kabar, koran, jual, kursi dan masker. Kebiasaan yang banyak berkembang dari budaya Islam dapat berupa ucapan salam, acara tahlilan, syukuran, yasinan dan lain-lain. Dalam hal kesenian, banyak dijumpai seni musik seperti kasidah, rebana, marawis, barzanji dan shalawat. Kita juga melihat pengaruh di bidang seni arsitektur rumah peribadatan atau masjid di Indonesia yang banayak dipengaruhi oleh arsitektur masjid yang ada di wilayah Timur Tengah.

 4. Ekonomi.

Peradaban dalam bidang Ekonomi juga tidak ketinggalan. Daerah-daerah pesisir sering dikunjungi para pedagang Islam dari Arab, Persi, dan Gujarat yang menerapkan konsep jual beli secara Islam. Juga adanya kewajiban membayar zakat atau amal jariyah yang lainnya, seperti sedekah, infak, waqaf, menyantuni yatim, piatu, fakir dan miskin.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sunyoto. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Iman, 2017.

Fatah Syukur. Sejarah Peradaban Islam, n.d.

Hasanu Simon. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Mukhlis Paeni. Sejarah Kebudayaan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Ridin Sofwan. Islamisasi Di Jawa. Pustaka Pelajar, 2000.

Abdullah, Taufik. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta: 1989.

Abdul, Hadi. Cakrawala Budaya Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.

Agus, Hermawan. Menggali dan Meneladani Ajaran Wali Songo (Sunan Kalijaga),Kudus: Yayasan Hj. Kartin, 2016.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Kencana Prenada Media, Jakarta: 2004.

Azra, Azyurmardi, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, Mizan, Bandung, 2002.

Harun, Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid 1. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Kastolani. Kompilasi Makalah Studi Islam Nusantara, Salatiga: IAIN Salatiga, 2017.

Pijper, Tudjimah. Sejarah Islam di Nusantara, 1900-1950, Jakarta: UIP, 1984.

Syukur, M. Amin. Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo, 2004.

Zarkasi, Efffendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan, Al-Ma’arif, Bandung,1983

 



[1] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 76.

[2] Mukhlis Paeni, hlm. 128-129.

[3] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Depok: Pustaka Iman, 2017), hlm. 142.

[4] Ridin Sofwan, Islamisasi Di Jawa (Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 9.

[5] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 131.

[6] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, glm. 77.

[7] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, n.d., hlm. 196.

Comments

Popular posts from this blog

UAS ILMU MANTIQ : JURNAL 2

Sejarah Peradaban Islam 2 (UAS) : Kerajaan Islam Zaman Penjajahan Belanda